Karakter Agama Indu


HARI KE TIGA PULUH DI PULAU DEWATA



Karakteristik Agama Hindu


Dipakai nama Hindu Dharma sebagai nama Agama Hindu menunjukkan bahwa kata Dharma mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian kata agama dalam bahasa Indonesia.  Dalam kontek pembicaraan kita saat ini pengertian Dharma disamakan dengan agama. Jadi Agama Hindu sama dengan Hindu Dharma. Kata Hindu sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Persia yang mengadakan komunikasi dengan penduduk di lembah sungai Sindhu dan ketika orang-orang Yunani mengadakan kontak dengan masyarakat di lembah sungai Sindhu mengucapkan Hindu dengan Indoi dan kemudian orang-orang Barat yang  datang kemudian menyebutnya dengan India. Pada mulanya wilayah yang membentang dari lembah sungai Sindhu sampai yang kini bernama Srilanka, Pakistan, Bangladesh dan bahkan Bharata yang disebut juga Jambhudvipa. Nama  asli dari agama ini adalah Sanatana Dharma atau Vaidika Dharma. Kata Sanatana Dharma berarti agama yang bersifat abadi dan akan selalu dipedomani oleh umat manusia sepanjang masa, karena ajaran yang disampaikan adalah kebenaran yang bersifat universal, merupakan santapan rohani dan pedoman hidup umat manusia yang tentunya tidak terikat oleh kurun waktu tertentu. Kata Vaidika Dharma berarti ajaran agama yang bersumber pada kitab suci Veda, yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Mahadevan,1984:13).
Kitab suci Veda merupakan dasar atau sumber mengalirnya ajaran Agama Hindu. Para rsi atau maharsi yakni orang-orang suci dan bijaksana di India zaman dahulu telah menyatakan pengalaman-pengalaman spiritual-intuisi mereka (Aparoksa-Anubhuti) di dalam kitab-kitab Upanisad, pengalaman-pengalaman ini sifatnya langsung dan sempurna. Hindu Dharma memandang pengalaman-pengalaman para maharsi di zaman dahulu itu sebagai autoritasnya. Kebenaran yang tidak ternilai yang telah ditemukan oleh para maharsi dan orang-orang bijak sejak ribuan tahun yang lalu, membentuk kemuliaan Hinduisme, oleh karena itu Hindu Dharma merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Sivananda, 1988: 4).
Kebenaran tentang Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa ditegaskan oleh pernyataan yang terdapat dalam kitab Taittiriya Aranyaka 1.9.1 (Dayananda Sarasvati, 1974: LI), maupun Maharsi Aupamanyu sebagai yang dikutip oleh maharsi Yaska (Yaskacarya) di dalam kitab Nirukta II.11 (Dayananda Sarasvati, 1974:LI). Bagi umat Hindu   kebenaran Veda adalah mutlak, karena merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya Sri Chandrasekarendra Sarasvati, pimpinan tertinggi Sankaramath yakni perguruan dari garis lurus Sri Sankaracarya menegaskan: “Dengan pengertian bahwa Veda merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa (Apauruseyam atau non human being) maka para maharsi penerima wahyu disebut Mantradrastah (mantra drastah iti rsih). Puruseyam artinya dari manusia. Bila Veda merupakan karangan manusia maka para maharsi disebut Mantrakarta (karangan/buatan manusia) dan hal ini tidaklah benar. Para maharsi menerima wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa (Apauruseyam) melalui kemekaran intuisi (kedalaman dan pengalaman rohaninya), merealisasikan kebenaran  Veda, bukan dalam pengertian mengarang Veda. Apakah artinya ketika seorang mengatakan bahwa Columbus menemukan Amerika? Bukankah Amerika telah ada ribuan tahun sebelum Columbus lahir ? Einstein, Newton atau Thomas Edison dan para penemu lainnya menemukan hukum-hukum alam yang memang telah ada ketika alam semesta diciptakan. Demikian  pula para maharsi diakui sebagai penemu atau penerima wahyu tuhan Yang Maha Esa yang memang telah ada sebelumnya dan karena penemuannya itu mereka dikenal sebagai para maharsi agung. Mantra-mantra Veda telah ada dan senantiasa ada, karena bersifat Anadi-Ananta yakni kekal abadi mengatasi berbagai kurun waktu. Oleh karena kemekaran intuisi yang dilandasi kesucian pribadi mereka, para maharsi mampu menerima mantra Veda. Para maharsi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa dihubungkan dengan Sukta (himpunan mantra), Devata (Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang menurunkan wahyu) dan Chanda (irama/syair dari mantra Veda). Untuk itu umat Hindu senantiasa memanjatkan doa pemujaan dan penghormatan kepada para Devata dan maharsi yang menerima wahyu Veda ketika mulai membaca atau merapalkan mantra-mantra Veda (Chandrasekharendra, 1988:5).
Kitab suci Veda bukanlah sebuah buku sebagai halnya kitab suci dari agama-agama yang lain. Kitab ini terdiri dari beberapa buku yang terdiri dari 4 kelompok yaitu kitab-kitab Mantra (Samhita) yang dikenal dengan Catur Veda (RIgveda, Yajurveda, Samaveda atau Atharvaveda). Masing-masing kitab mantra ini memiliki kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad) yang seluruhnya itu diyakini sebagai wahyu wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang didalam bahasa Sanskerta disebut Sruti. Kata Sruti berarti sabda Tuhan Yang Maha Esa yang didengar oleh para maharsi. Pada mulanya wahyu itu direkam melalui kemampuan mengingat dari para maharsi dan selalu disampaikan secara lisan kepada para murid dan pengikutnya, lama kemudian setelah tulisan (huruf) dikenal selanjutnya mantra-mantra Veda itu dituliskan kembali. Seorang maharsi agung, yakni Vyasa yang disebut Krisndvaipayana dibantu oleh para muridnya menghimpun dan mengkompilasikan mantra-mantra Veda yang terpencar pada berbagai Sakha, ASrama (ashram), Gurukula, Sampradaya, Parampara atau Akara.
Di dalam memahami ajaran Agama Hindu, disamping kitab suci Veda (Sruti) yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tertinggi, dikenal pula hiarki sumber ajaran Agama Hindu yang lain yang merupakan sumber hukum Hindu adalah Smriti (kitab-kitab DharmaSastra atau kitab-kitab hukum Hindu), Sila  (yakni tauladan pada maharsi yang termuat dalam berbagai kitab Itihasa (sejarah) dan Purana (sejarah kuno), Acara (tradisi yang hidup pada masa yang lalu yang juga dimuat dalam berbagai kitab Itihasa (sejarah) dan Atmanastusti, yakni kesepakatan bersama berdasarkan pertimbangan yang matang dari para maharsi dan orang-orang bijak yang dewasa ini diwakili oleh majelis tertinggi umat Hindu dan di Indonesia disebut Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat yang dipresentasikan dengan kedudukan Sabha Pandita sebagai organ tertinggi Parisada, sedang Pengurus Harian adalah sebagai ekskutan yang bila melanggar AD/ART dapat diberhentikan oleh Sabha Pandita. Majelis yang dipresentasikan oleh Sabha Pandita inilah yang berhak mengeluarkan Bhisama (semacam fatwa) bilamana tidak ditemukan sumber atau penjelasannya di dalam sumber-sumber  ajaran Hindu yang kedudukannya lebih tinggi.
Hindu Dharma memperkenalkan kemerdekaan mutlak terhadap pikiran rasional manusia. Hindu Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya  terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari pemikiran, perasaan dan pemikiran manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir dan perasaan manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa, penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan kehidupan ini. Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu ataupun ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena itu, segala macam keyakinan/Sraddha, bermacam-macam bentuk pemujaan atau Sadhana, bermacam-macam ritual serta adat-istiadat yang berbeda, memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu Dharma dan dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang lainnya.
Tentang kemerdekaan memberikan tafsiran terhadap Hindu Dharma di dalam Mahabharata dapat dijumpai sebuah pernyataan : "Bukanlah seorang maharsi (muni) bila tidak memberikan pendapat terhadap apa yang dipahami" (Radhakrishnan, 1989:27).  Inilah salah satu ciri atau karakteristik dari Hindu Dharma. Karakteristik atau ciri khas lainnya yang merupakan barikade untuk mencegah berbagai pandangan yang memungkinkan tidak menimbulkan pertentangan di dalam Hindu Dharma adalah Adikara dan Ista atau Istadevata. Adikara berarti kebebasaan untuk memilih disiplin atau cara tertentu yang sesuai dengan kemampuan dan kesenangannya, sedangkan Ista atau Istadevata adalah kebebasan untuk memilih bentuk Tuhan Yang Maha Esa yang dijelaskan daalam kitab suci dan susatra Hindu, yang ingin dipuja sesuai dengan kemantapan hati.
Svami Sivananda, seorang dokter bedah yang pernah praktek di Malaya (kini Malaysia) kemudian meninggalkan profesinya itu menjadi seorang Yogi besar dan rohaniawan agung pendiri Divine Life Society menyatakan: Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gambaran indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda -beda dalam Hindu Dharma; tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe pemahaman dan tempramen, sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma; karena dalam Hindu dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran dari yang tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka (Sivananda,1988:134). Sejalan dengan pernyataan ini Max Muller mengatakan bahwa Hindu Dharma mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu Dharma merangkum semua keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas dan Dr. K.M. Sen mengatakan bahwa dengan definisi Hinduisme menimbulkan kesulitan lain. Agama Hindu menyerupai sebatang pohon yang tumbuh perlahan dibandingkan sebuah bangunan yang dibangun oleh arsitek besar pada saat tertentu.
Pernyataan-pernyataan diatas adalah benar sebab dalam ajaran Agama Hindu dikenal banyak jalan atau cara mencapai Brahman, Tuhan Yang Maha Esa dengan ribuan Udbhava  (manifestasi) Nya dengan nama-Nya berbeda-beda. Tuhan Yang Maha Esa, melalui Avatara-Nya Sri Bhagavan Krisna dalam  kitab suci Bhagavadgita (IV.7) secara tegas menyatakan .
        “Yada-yada hid dharmasya glanir bhavati bharata
        abhyutthanam adharmasya tadattmanam srijamy aham”
        “Kapan saja dan dimana Dharma itu merosot
        (mengalami keruntuhan) pada saat itu Aku
         sendiri menjelma, wahai Arjuna”.
Jadi bila kejahatan merajalela, terjadi kemerosotan dan kehancuran moral manusia, pada saat itu Tuhan Yang Maha Esa akan turun untuk menyelamatkan umat manusia dan ciptaan-Nya.
Walaupun karakteristik ajaran Hindu Dharma  sebagai telah diuraikan di atas, tidaklah berarti ajaran Agama Hindu itu tidak jelas dan menafsirkannya di luar kewenangan dan jangkauan kitab suci. Memang kelihatan demikian banyaknya variasi di dalam Hindu Dharma, namun sesungguhnya ajarannya dimana-mana dan kapan saja sama. Essensi ajaran Hindu Dharma yang bersumber dan mengalir dari kitab suci Veda dengan susatra Hindu lainya yang ditulis dalam berbagai bahasa dirumuskan dalam ajaran Sraddha (Tattva)  atau keimanan, dilaksanakan dan diejawantahkan dalam prilaku Tata SuSila  atau budi pekerti berdasarkan ajaran Dharma dan ekspresinya nampak pada dalam Acara Agama.
Ajaran Sraddha yang merupakan dasar keimanan Hindu Dharma dirumuskan dalam PaƱca Sraddha, yakni keyakinan terhadap Brahman, para dewa manifestasi-Nya dan Avatara-Nya, keyakinan terhadap kebenaran Atman, roh atau jiva yang menghidupkan semua mahluk dan Atman merupakan percikan-Nya (Brahman/Tuhan Yang Maha Esa) Yang Trancendent maupun Yang Immanet. Sraddha, keyakinan atau keimanan yang ketiga adalah terhadap kebenaran adanya Karmaphala (hukum perbuatan), keimanan yang  keempat adalah keyakinan terhadap penjelmaan kembali, Samsara (rebith) dan yang kelima adalah Moksa, yakni kebebasan tertinggi yang mesti dicapai umat manusia, bersatunya Atman dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran Hindu Dharma tidaklah ada artinya bila tidak diamalkan oleh pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana seharusnya sebagai mahluk individu, sosial yang hidup bersama menikmati kemurahan bunda pertiwi bersama makhluk hidup lainnya. Semuanya itu dijelaskan dalam ajaran tata susila Hindu Dharma, yang merupakan pedoman yang harus dilakoni oleh setiap umat. Aspek Acara sangat komplek menyangkut berbagai aktivitas keagamaan terutama bidang ritual dengan berbagai kaitannya dan hal ini oleh karena sifatnya berbagai bentuk atau wujud pengalaman ajaran yang kasat mata, maka faktor lingkungan alam dan budaya yang menekankan keharmonisan memberikan rona dan mewarnai perbedaan-perbedaan praktek-praktek ritual/keagamaan.
Demikianlah keanekaragaman  dalam bentuk luarnya, namun memiliki satu keragaman dan satu tujuan mewujudkan kesejahtraan jasmani dan rohani serta bersatunya Atman dengan Brahman. Kalimat ini kemudian diformulasikan dan dijadikan motto oleh Sri Ramakrishna Mission, sebagai berikut.
"Atmanah Moksartham Jagadhitaya ca"
(merealisasikan Sang Diri, Atman yang tidak lain adalah percikan Tuhan Yang Maha Esa             
untuk mewujudkan kesejahtraan lahir dan kebahagian bathin (Mahadevan, 1984: 297).
Mewujudkan Jagadhita (kesejahtraan lahiriah) dan Moksa (kebahagian yang sejati) adalah tujuan Hindu Dharma dan juga sekaligus pula tujuan hidup manusia.
Dari formulasi di atas, kemudian dikenal tujuan Agama Hindu yang dirumuskan dalam kalimat: moksartham jagadhitaya iti dharmah, yang maknanya melalui ajaran agama untuk mencapai jagadhita dan moksa. Ajaran Agama Hindu bagaikan aliran sungai mengaliri berbagai budaya dan peradaban umat manusia, sejak diturunkan oleh-Nya di lembah sungai Sindhu hingga ke Indonesia dan Bali khususnya, agama ini menyuburkan lembah-lembah kehidupan, peradaban dan budaya umat manusia yang dilalui itu. Agama Hindu menjadi jiwa dari segala aktivitas pemeluknya serta peradaban dan budaya yang mereka anut. Menyatunya antara agama dan budaya, seperti jalinan benang tenun (kain endek Bali), yang menyatu sedemikian rupa dengan keindahannya yang mempesona. Di setiap wilayah yang dialiri oleh ajaran agama Hindu terjadi sinergi yang mempelihatkan identitas budayanya masing-masing, oleh karena itu akan tampak dalam acara Agama Hindu di masing-masing daerah, baik di India (tampak berbeda pelaksananan Agama Hindu di India Utara, Selatan, Barat, dan lain-lain karena faktor budaya pendukung agama tersebut), demikian pula di Indonesia, tampak perbedaan antara Agama Hindu yang dipeluk oleh warga Dayak Kaharingan, Hindu yang dipeluk oleh masyarakat Jawa dan sebagainya yang semuanya memiliki identitas budayanya masing-masing yang memberi warna budaya agama yang berbeda-beda.